BIAR KELIRU ASAL KOMERSIAL
Rotation of photo kunjana.jpg
Dr. R. Kunjana Rahardi
Dosen Santa Maria dan Atma Jaya Yogyakarta
Bahwa bahasa lekat dengan penggunanya, adalah fakta yang tak termungkiri lagi. Pengguna bahasa adalah penentu dinamika bahasa. Bahasa berdinamika baik, pasti dapat berkembang baik. Bahasa tidak berdinamika maksimal, perkembangannya pasti tersendat.
Kita lihat saja bahasa-bahasa daerah kita. Bahasa-bahasa itu sejatinya merupakan pilar bahasa Indonesia. Sayang, bahasa-bahasa itu tidak tumbuh maksimal. Dinamikanya tidak maju, tetapi stagnan. Atau, malahan mungkret. Lalu, bagaimana bahasa Indonesia yang hanya ditopang pilar keropos dan berdinamika mungkret?
Namun, bukan karena itu saja bahasa Indonesia tidak berkembang sempurna. Pengguna bahasa yang suka gagah-gagahan dengan bentuk asing, gemar berbangga-bangga dengan bentuk daerah, menjadi sebab pokok lemahnya bahasa kita.
Kita cermati bahasa komersial di pelbagai tempat iklan. Juga pada kaus-kaus komersial yang banyak menjual permainan kata-kata. Dalam wahana itu, sering ditemukan bentuk yang berakhir dengan /x/, /z/, atau / y/. Bentuk semacam itu sengaja dibuat keasing-asingan karena diyakini akan lebih keren dan komersial.
Untuk menyatakan maksud obong, misalnya, digunakan obonk. Tidak keren rasanya kalau untuk kedai digunakan bentuk warung. Maka, lalu muncullah waronx. Kata-kata daerah juga dibuat bergaya manca, seperti wedhuz, gendhenx, qzruh, mbelinx. Semua dikreasi agar bentuk kebahasaan itu menjadi keren dan ‘menjual’.
Ada juga nama tertentu yang menggunakan bentuk khayangan alih-alih kahyangan, seperti ‘Citra Khayangan’, ‘Nuansa Khayangan’. Bentuk yang diawali /kh/, dirasa lebih keren daripada dengan /k/. Bentuk kharisma juga digunakan alih-alih bentuk benar karisma.
Beberapa saat silam sempat terjadi kebingungan, apakah Yogyakarta harus ditulis Jogjakarta, atau malahan dengan bentuk arkais Djogdjakarta. Dari sisi kekerenan dan kekomersialan, barangkali Djogdjakarta paling tinggi peringkatnya, disusul Jogjakarta, dan yang terakhir Yogyakarta.
Kita sering menemukan bentuk donk dan dech alih-alih dong, deh untuk kata serapan bahasa Melayu Betawi. Bahkan kini kita tidak lagi mengerti apakah yang benar (e)lo atau (e)lu untuk kamu, anda. Juga untuk gue dan gua, untuk maksud aku, saya.
Belakangan banyak orang gandrung dengan pronomina aku, tanpa menyadari ketepatan kaidah pemakaiannya. Dalam semua konteks, aku dianggap tepat digunakan. Oleh karena pengaruh bahasa daerah pula, digunakan bentuk interjektif lho, bukannya bentuk benar lo.
Konon, lantaran dulu Bung Karno menyebut kota Solo dengan Sala, salah kaprah pun kini terjadi. Kita tidak menyadari lagi bahwa anjangsana, sesungguhnya berasal dari bahasa Sunda anjangsono. Sepertinya, bentuk berakhir dengan [a], lebih keren daripada [o].
Jurnalis media bergeming ketika pada Minggu, pada Januari, pada 2008 yang sesungguhnya konstruksi asing, dibetulkan menjadi pada hari Minggu, pada bulan Januari, dan pada tahun 2008. Sesungguhnya, biar agak panjang itulah cara pengungkapan yang benar.
Dalam tataran kalimat, kita tidak lagi menyadari bahwa bentuk ‘reduced’ Dihubungi terpisah, direktur mengatakan… adalah bentuk berkonstruksi asing. Sebenarnya, bentuk itu dapat diubah agar berkonstruksi benar dengan menambahkan konjungsi intrakalimat. Maka, bentuk itu menjadi Ketika dihubungi terpisah, direktur mengatakan….
Problema kebahasan di depan semuanya menegaskan, kita cenderung memakai bentuk keren dan komersial dalam praktik kebahasaan. Kita kurang berpreferensi pada bentuk yang sesuai dengan aturan kebahasaan. Lalu, bagaimana bahasa Indonesia kita ke depan?
Pertanyaan, saran, komentar, dan diskusi kebahasaan dapat disampaikan langsung ke: kunjana@indosat.net.id atau kunjana.rahardi@gmail.com
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Jakarta, 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar