Jumat, 12 September 2008

FENOMENA BAHASA ‘INGLISH’

R. Kunjana Rahardi

Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta;

Konsultan Bahasa Media Massa di Jakarta

‘Eh…e,…e,… jangan buru-buru diganti!’ Judul di atas tidak keliru. Maksudnya, kependekan dari ‘Indonesian-English’ alias bahasa Indonesia yang digado-gadokan dengan Inggris. Ada banyak orang menyebut ‘Indoglish’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia ini. Setidaknya dapat saya sebut Bung Joss Wibisono, reporter Radio Nederland Wereldomroep di Belanda, yang dalam wawancaranya kepada saya menyinggung fenomena ‘Indoglish’ ini.

Mari kita lihat sebentar bentuk ‘Inglish’ yang kini sudah banyak menggejala ini. Dalam bidang internet dan komputer kita banyak menggunakan mendownload, mengupload, mengupdate, dienter, diundo. Dalam bidang ekonomi terdapat dibuyback, dicover, direlease, diendorse, didiscount. Dalam bidang umum kita menemukan direject, diaccept, diclean, direturn. Dalam bidang lain pun, gejala bahasa Indonesia gado-gado ini banyak muncul.

Dalam hal struktur kata, pernah muncul BBWI untuk menunjuk waktu di wilayah Indonesia bagian barat. Bentuk itu kepanjangannya Bagian Barat Waktu Indonesia, sedangkan bentuk yang sudah lama berlaku adalah WIB. Bentuk WIB yang notabene bentuk benar itu merupakan kependekan ‘Waktu Indonesia (Bagian) Barat’.

Nah, bentuk yang disebut pertama itu berkonstruksi frasa asing karena bagian yang menerangkan berada di depan yang diterangkan. Bahasa kita tergolong bahasa berstruktur D-M, alias Diterangkan-Menerangkan untuk konstruksi frasanya. Atau bisa juga dalam tataran yang lebih luas disebut bahasa berpola V-O alias Verb-Object, alias pula predikat verba mendahului objek nominanya.

Tentu dalam bahasa Indonesia kita tidak bisa mengatakan biru buku atau pintar anak, tetapi harus mengatakan buku biru atau anak pintar. Itulah kenapa WIB adalah bentuk benar, dan BBWI keliru. Kalau bentuk BBWI diterima, akan semakin kukuhlah sinyalemen bahwa fenomena Inglish benar-benar hadir dalam bahasa kita.

Dalam tataran kalimat, ayolah kita lihat bentuk Masuk rumah, dia terkejut lalu terjatuh dan pingsan. Bukankah kalimat ini juga merupakan fenomena Inglish. Konstruksi kalimat itu hanya ada dalam bahasa Inggris, yakni konstruksi participial. Saya sering menyebutnya bentuk reduced, pakar bahasa yang lain menyebutnya partisip. Bukankah dalam bahasa Inggris terdapat bentuk partisip seperti Opening the door, she got startled and fainted. Nah, dalam bahasa Indonesia yang tidak digado-gadokan dengan struktur Inggris akan berbunyi, Saat membuka pintu, dia terkejut lalu terjatuh dan pingsan.

Fenomena Inglish benar-benar telah merasuk dan merusak bahasa Indonesia dari segala lini. Bisa dipertentangkan siapa yang sesungguhnya rakus bentuk asing itu dalam berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang memang terlampau adaptif karena mudah menyerap kata dan istilah serta konstruksi asing, ataukah kita pemakai bahasa Indonesia yang memang semakin tipis nasionalismenya, khususnya ketika harus berbahasa Indonesia.

Saya rasa fakta demikian ini harus direfleksikan, kenapa dalam usia negara yang 63 tahun ini, belum juga kita merdeka dari koloni bahasa. Bukankan fakta demikian itu artinya juga kita sudah mengkolonikan bahasa sendiri atau menjajahkan bahasa sendiri terhadap bahasa asing.

Tentu saja tidak bisa orang berkilah bahwa kini adalah era global, dan pengaruh bahasa asing khususnya bahasa Inggris pasti tidak tertangkalkan. Saya mengatakan ‘tidak bisa’ karena sekarang inilah saatnya kita harus mencuatkan nilai-nilai bahasa lokal ke dalam kancah global. Itulah kenapa beberapa saat lalu saya menulis di sebuah harian nasional ihwal bahasa glokal. Jadi, kita sekarang ini berkesempatan besar mencuatkan values bahasa nasional. Itulah yang dimaksud glokalisasi, bukan globalisasi. Maka, kita harus menyebut era sekarang ini era globalisasi dengan sentuhan lokal. Orang bilang, globalization with local flavours.

Jadi, tidak benar kalau di era sekarang bahasa nasional harus kalah dari bahasa Inggris. Justru, dalam pernyataan David Graddol (2006), peran bahasa Inggris kini makin redup. Peran bahasa Inggris mulai terkalahkan bahasa non-Inggris, utamanya Mandarin di wilayah Asia, dan Spanyol di Amerika Selatan. Kenapa kita justru menjadi kalah dengan terus berasing-asing ria dalam berbahasa Indonesia?

Nah, mari kita sejenak berkeliling kota Jogjakarta. Kita lihat apakah fenomena Inglish makin menggejala. Kalau nanti Anda menemukan bentuk-bentuk gado-gado pada nama restoran, hotel, rumah sakit, mal, bahkan warung lesehan, kita mutlak harus merasa khawatir. Jangan-jangan, buku ‘9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing’ oleh Alif Danya Munsyi, alias Dova Zila, alias Yapi Tambayong, alias Remy Sylado (2003), bakal menjadi kenyataan.

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Jogja, September 2008)