R. Kunjana Rahardi**
Bukan tanpa alasan kalau beberapa waktu lalu penulis menyampaikan pemikiran ihwal urgensi memakai bahasa sendiri di suatu harian. Bukan tanpa alasan kalau penulis sebagai linguis gelisah dengan kecenderungan berbahasa Indonesia yang makin memprihatinkan.
Memang faktanya, bahasa kita benar-benar tergerogoti bahasa asing, utamanya Inggris, justru di era glokal. Memang benar, globalisasi telah menerabas sekat antarbangsa, antarmasyarakat, antarras, antarsuku, antargolongan, sehingga dunia serasa berubah menjadi kampung besar (global village) sebagaimana diprediksikan Marshall McLuhan (1962). Batas-batas bangsa dan negara kini sudah kabur, bahkan bisa dibilang runtuh, sehingga semuanya menjadi satu seperti dinyatakan Kenichi Ohmae (2005) dalam The Next Global Stage: Challenge and Opportunities in Our Borderless World.
Dalam pada itu dalam konteks bahasa terjadi glokalisasi (glocalization). Fenomena makin mencuatnya nilai-nilai lokal di era global. Maksudnya, agar sukses dalam percaturan global, kita harus piawai menonjolkan keunikan-keunikan lokal (local flavour). Orang lalu menyebut glokalisasi sebagai globalization with local flavour.
Sejenak kita berkaca pada temuan David Graddol (2006), yang memberikan ilustrasi hasil risetnya, bahwa pada 2000, bahasa Inggris di internet digunakan 51,3%. Lima tahun kemudian pada 2005, pemakaian bahasa Inggris merosot 32%. Penurunan dramatis itu disebabkan oleh fakta bahwa bahasa-bahasa tertentu mampu menangkap secara cerdas peluang i glokal itu.
Di antara bahasa-bahasa yang paling responsif, sesuai dengan hasil riset Graddol, sehingga meraup persentase besar, adalah Mandarin. Pada 2000, persentase Mandarin 5,4%, tetapi pada 2005 melonjak 13%.
Bahasa-bahasa lain rata-rata juga meneguk tambahan persentase signifikan. Semestinya, bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa di Asia bersama Jepang, Korea, dan Mandarin, juga mendapatkan kenaikan signifikan.
Namun, sungguhkah bahasa Indonesia mendapatkan peningkatan itu. Sama sekali tidak ada jawaban! Belum ada riset tentang ini! Graddol tidak juga menyebut bahasa Indonesia dalam risetnya. Setidaknya, itulah data yang dapat diakses penulis hingga kini.
Biasa! Kita memang senang terlambat dan gemar bener tertinggal bangsa lain dalam banyak hal. Dalam riset bahasa apalagi! kita harus meng-iya-kan, kita sangat tertinggal! Tidak salah kalau dikatakan kita gemar lari di tempat. Juga, dalam perkembangan dan perawatan bahasa (language maintenance and development).
Kalau di depan dinyatakan dalam tendensi glokal banyak bahasa berpeluang menonjolkan nilai-nilai lokal (local values), sehingga keunikan-keunikan lokal justru akan tercuat, fakta kebahasaan kita berbeda. Kita justru suka keasing-asingan. Serasa tidak keren kalau tidak menggunakan bentuk bahasa dan struktur bahasa asing.
Nasionalisme kita dalam bidang bahasa semakin larut di era glokal. Kesempatan mencuatkan nilai-nilai lokal dengan cara menggunakan bahasa Indonesia secara taat kaidah sosial dan struktural, malahan terbiarkan lenyap. Pasalya, pandangan mata kita terus tertuju ke dalam bahasa asing itu.
Orang Jawa bilang, kita ini blerengan (mudah merasa silau), tetapi pada waktu bersamaan juga nggumunan (mudah merasa terpesona). Terhadap tendensi kenaikan persentase sebagaimana disampaikan Graddol di depan, kita blereng sehingga tidak mampu merespons dengan baik. Kita tidak merespons tendensi glokal itu, malahan membiarkannya berlalu.
Maka, bahasa kita boleh dibilang kurang maju, malahan tergerogoti bahasa asing setiap waktu. Terhadap intrusi-intrusi bahasa asing itu, kita justru nggumunan alias mudah terpesona dengan kenyataan itu. Maka, kita lalu gemar sekali menggunakan bahasa dan struktur bahasa asing dalam berbagai wahana kehidupan. Orang bilang, biar keren!
Dalam surat kabar kita suka menggunakan bahasa dan struktur bahasa asing. Dalam perbincangan televisi kita melihat orang gemar sekali mencampur-campurkan bahasanya dengan bahasa asing (code-mixing). Dalam memasang papan-papan nama di ruang publik, kita bangga dengan bentuk dan struktur asing. Jadi, kita ini memang sungguh tidak disiplin berbahasa sendiri. Ibarat orang latihan baris-berbaris, jalannya pating krenthil alias tidak serentak. Maka, bahasa kita ke depan bisa kian rusak.
Bilamana fakta-fakta belerengan dan nggumunan dalam berbahasa ini tidak segera kita sikapi dengan baik, penulis meyakini, kita bakal kehilangan momentum dalam pengembangan dan perawatan bahasa sendiri. Dan yang sangat menggelikan, itu semua terjadi justru di era yang seharusnya kita boleh menonjolkan keunikan-keunikan lokal di era glokal.
Dalam hemat penulis, perencanaan bahasa dan ‘politik bahasa’ kita ke depan harus segera dikaji dan dirumuskan ulang. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan bahasa baik di pusat maupun daerah tidak boleh diam. Harus sungguh gumreget dan sigap. Segera lakukan langkah-langkah nyata. Lakukan kerja sama sinergis dengan pemerintah pusat dan daerah dalam membenahi bahasa masyarakat.
**Dr. R. Kunjana Rahardi adalah dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta dan konsultan bahasa media massa di Jakarta, tinggal di Yogyakarta.
(Artikel bahasa ini pernah dimuat di harian Kompas Jakarta, Rabu 19 Agustus 2008)
Jumat, 12 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar