Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum.
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta,
Konsultan Bahasa Media Massa di Jakarta
‘Apa wis bisa delivered, Dik?’
‘Durung sida je Mas,…
Malah lagi jammed iki!’
Saya rasa percakapan serupa kini sangat lazim terdengar. Utamanya, bagi yang banyak berurusan dengan komputer dan internet. Dalam ranah lain terdapat bentuk, ‘Diundjuk sik obate yang dari dokter tadi supaya cepat dhangan.’ Atau, ‘Wis dipundhutke kok tidak segera dimakan to, nanti cepat adhem kembali lho dhaharene Mas.’ Saya rasa, dengan mencermati tuturan-tuturan di atas, sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa dalam berbahasa Jawa pun kita suka gado-gado, atau bahkan gemar sekali ‘gudhangan’. Maksudnya, campur-bawur tidak karuan. Untuk yang pertama saya menyebutnya fenomena ‘Javanglish’ (Javanese-English), yang kedua bahasa ‘Jawanesia’ (Jawa-Indonesia). Dalam berbahasa Jawa, banyak dari kita yang mencampurkan bahasa Inggris. Apalagi dengan bahasa Indonesia yang notabene serumpun, campur aduk itu menjadi kentara sekali.
Baru saja saya menulis di Harian Jogja, fenomena bahasa yang saya sebut ‘Inglish’ atau ‘Indoglish’. Maksudnya, keadaan penggunaan bahasa yang campur-campur bak gado-gado. Rasa bahasanya, tentu juga menjadi ‘nano-nano’ alias ‘ora ngalor, ora ngidul’. Akan tetapi, ada pula pakar yang berpendapat bahwa fakta demikian ini mustahil hanya merupakan fenomena bahasa. Alasannya, di dalam fakta itu justru terdapat entitas yang lebih mendasar, yakni tipisnya nasionalisme bahasa. Kalau dalam bentuk-bentuk di atas terdapat sinyalemen itu, memang lalu sangat patut dikhawatirkan bahwa yang kini tipis itu, dalam waktu dekat bakal makin tipis dan akhirnya habis. Terlebih-lebih, jika upaya pemertahanan terhadap bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah (language defence) tidak secepatnya dilakukan dengan penuh ketaktisan.
Adakah gerangan sebab lain di luar fakta tipisnya nasionalisme seperti disebutkan di depan? Dengan tegas saya sebagai linguis mengatakan ‘ada’, khususnya untuk yang bertali-temali dengan ‘Javanglish’ dan ‘Jawanesia’. Bahasa-bahasa memang selalu berkontak, terlebih-lebih untuk bahasa yang dimiliki masyarakat bahasa yang tinggi dinamikanya. Bahasa Jawa, katakan saja, dimiliki orang-orang Jawa yang memang sangat dinamis polanya. Orang-orang Jawa juga dikenal mudah bergaul dengan warga masyarakat lain. Karakter keramahan dan kesopanan mereka yang tinggi, menjadikan warga masyarakat bahasa Jawa ini mudah diterima warga masyarakat lain.
Demikian pula, warga masyarakat lain juga tidak kesulitan beradaptasi dengan warga masyarakat Jawa. Fakta sosial demikian inilah yang kemudian melahirkan kontak bahasa (language contact) sebagaimana yang dinyatakan Uriel Weinreich (1970). Jadi, dari sisi sosiolinguistik sepertinya ancaman untuk terjadinya fakta ‘Javanglish’ dan ‘Jawanesia’ adalah kenyataan yang tidak tersangkalkan. Akan tetapi masalahnya, sekali lagi, bagaimana pemertahanan bahasa harus dilakukan? Adakah upaya konkrit dari masyarakat bahasa Jawa, --yang tentu saja harus dikomandai dan diprakarsai pihak-pihak yang berwenang dengan soal pengembangan dan pemeliharaan bahasa daerah--, untuk membalikkan arah dinamika mundurnya bahasa Jawa ini?
Saya cenderung mengatakan, upaya paling realistis dan aksesibel untuk segera dilakukan adalah lewat pembinaan bahasa Jawa dalam pengertian yang seluas-luasnya. Sasaran pembinaan juga harus dilakukan setepat-tepatnya. Memang tidak terlalu salah, sekalipun tidak tepat, jika sekarang ini anak-anak sekolah dasar masih diminta belajar menulis Jawa ala hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga. Akan tetapi yang jauh lebih penting, utamanya untuk kompetensi komunikasi bahasa Jawa, adalah pada tata cara lan unggah-ungguhing basa. Maksudnya, bagaimana bentuk kebahasaan tertentu harus digunakan dalam konteks situasi tertentu. Termasuk di dalamnya yang harus digamblangkan, --karena bahasa Jawa berbeda dengan bahasa Indonesia--, adalah persoalan tingkat tutur (speech level) dalam bahasa Jawa.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, hanya ada satu bentuk ‘makan. Dalam bahasa Inggris juga hanya ada satu ‘eat. Akan tetapi, dalam bahasa Jawa ada dhahar, nedha, mangan, madhang, mbadhok, nguntal, halat, dan segala macam variasinya. Saya hanya mau mengatakan, bahwa tingkat kesulitan dalam tata cara lan unggah-ungguhing basa ini sungguh sangat tinggi. Dan, sesungguhnya itulah penyebab pokok munculnya bentuk-bentuk ‘Jawanesia’ dan ‘Javanglish’ itu.
Orang banyak yang tidak mampu memilah dan memilih bentuk yang tepat sesuai dengan konteks situasi yang muncul. Maka, terjadilah percampuran kode kebahasaan (code-mixing) yang tidak karuan. Jadi peralihan kode (code-switching) dan pencampuran kode kebahasaan yang muncul selama ini, bukan karena kepiawaian berbahasa Jawa, tetapi justru karena ketidakmampuan berbahasa secara tepat. Maka, tidak terlampau salah, sekalipun tidak tepat, kalau dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah teks-teks yang panjang-panjang banyak disampaikan.
Akan tetapi sekali lagi, persoalan tata cara lan unggah-ungguhing basa tetap harus diberikan di atas segala-galanya. Saya mempunyi keyakinan, bila hal itu jadi fokus dalam membina bahasa Jawa, --bukan pertama-tama pada nulis nganggo aksara Jawa dan pada maca wacan sing dawa-dawa, fenomena ‘Jawanesia’ dan ‘Javanglish ‘ lambat-lambat pasti bisa kita kikis.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Jogja, September 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar