Jumat, 12 September 2008

MASUKNYA KELUAR MANA?

R. Kunjana Rahardi

Dosen Santa Maria dan Atma Jaya Yogyakarta

Saat tertentu penulis merasa geli sendiri menyadari ungkapannya keliru. Ketika itu, ia hendak masuk lorong. Dalam kebingungannya ia bertanya, ‘Mas, masuknya keluar mana?’ ‘Gimana Pak? Oh… masuk sana Pak! Lewat gapura itu!’ Penulis tersadar, bentuk yang digunakan itu ternyata salah nalar.

Bahasa memang bukan hanya persoalan kata, frasa, dan kalimat. Bahasa juga bukan sekadar ihwal tata bunyi dan tata ejaan. Dalam bahasa, semua unsur saling bertautan. Konvensi-konvensi kebahasaan yang pasti ada dipastikan juga saling berkaitan. Jadi, hubungan-hubungan itulah yang harus diperhatikan ketika orang bertutur sapa. Bila tidak, pasti komunikasinya terganggu. Bentuk kebahasaannya bisa keliru. Nalar berbahasanya pun bisa salah total.

Kita sering tidak sadar kalau bentuk yang kita gunakan keliru. Bentuk Setelah bang jo belok kiri!, misalnya, sesungguhnya juga bermasalah. Orang yang sudah lama tinggal di Jogja mungkin paham. Akan tetapi, orang luar Jogja bisa sangat kebingungan dengan bentuk itu. Sebabnya, bang jo dikiranya sebutan Abang Jo. Maka, dia kian pusing lantaran tidak kunjung bertemu Abang Jo. Jadi, bentuk semacam ini muncul lantaran nalar kita keliru memerantikan bentuk tertentu.

Belum lama ini prabayar pada kartu prabayar juga jadi persoalan. Banyak orang paham makna bentuk itu sekalipun wujudnya keliru. Unsur terikat pra yang bergabung dengan bentuk dasar bayar maknanya adalah sebelum. Maka, prabayar mestinya diartikan sebelum membayar. Bukankah untuk bisa menggunakan fasilitas itu orang harus membayar dulu? Kalau begitu, kenapa tidak disebut saja pascabayar? Memang tidak mudah meluruskan kesalahan kebahasaan ini. Sebabnya, dimensi-dimensi bisnis telanjur merasuk di dalamnya.

Lho, kenapa di media massa masih juga sering muncul mengejar kemiskinan? Layakkah kemiskinan dikejar? Untuk apa kemiskinan dikejar? Mestinya, kemiskinan diatasi dan ditinggalkan, tidak malahan dikejar. Maka bentuk yang benar adalah mengatasi kemiskinan. Kita juga harus tahu bentuk mengentaskan kemiskinan keliru dan salah nalar. Bukankah yang dientaskan bukan kemiskinannya, melainkan masyarakatnya yang miskin. Kenapa disebut mengentaskan kemiskinan?

Satu lagi bentuk yang perlu diluruskan, Ia lebih gemar makan daging ayam daripada kambing. Lho, apa yang sebenarnya diperbandingkan? Subjek ia dan subjek kambing ataukah predikat makan yang dipakai oleh subjek ia atau kambing? Bentuk semacam ini jelas menyesatkan. Kalimat yang benar mestinya berbunyi, Ia lebih gemar makan daging ayam daripada makan daging kambing. Lantaran pemotongan atau elipsis yang tidak tepat, kalimat itu menjadi keliru. Kasus di atas serupa dengan yang berikut, Ia lebih pintar merangkai bunga daripada buah. Karena elipsis pula, kalimat ini menjadi kacau makna. Kalimat yang benar mestinya berbunyi Ia lebih pintar merangkai bunga daripada merangkai buah.

Apa yang salah dengan, Karena terlambat, direktur marah? Bukankah subjek kalimat itu direktur. Lalu, siapa yang sebenarnya terlambat, seseorang ataukah direktur? Kalimat ini juga tidak benar nalarnya. Mestinya, kalimat itu berbunyi, Karena terlambat, ia dimarahi oleh direktur.

Sederet kalimat salah nalar masih bisa didata hingga banyak jumlahnya. Memang, kita sering tidak sadar dengan kesalahkaprahan. Demikian pun dengan nalar kita yang salah, kita sering tidak menyadarinya.

Orang bisa saja mengatakan, Ah, yang penting paham apa yang dikatakan. Tentu saja hal itu tidak benar. Pemahaman terhadap makna kebahasaan tidak dapat lepas dari wujud kebahasaannya. Bilamana wujud bahasa yang digunakan keliru, terbuka lebar peluang terjadi kesalahpahaman.

Anda yang terlalu berfokus pada keterpahaman tetapi melupakan ketepatan, bisa jadi merupakan sosok penyumbang ketidakmartabatan bahasa. Kalau Anda terus menoleransi bentuk salah seperti masuknya keluar mana, dan akhirnya bahasa kita sarat bentuk keliru semacam itu, bahasa bermartabat lain pasti akan segera menggusur bahasa kita.

Pertanyaan, saran, komentar, dan diskusi kebahasaan dapat disampaikan langsung ke: kunjana@indosat.net.id atau kunjana.rahardi@gmail.com

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Jakarta, Agustus 2008)

Tidak ada komentar: