R. Kunjana Rahardi
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta;
Konsultan Bahasa Media Massa di Jakarta
‘Eh…e,…e,… jangan buru-buru diganti!’ Judul di atas tidak keliru. Maksudnya, kependekan dari ‘Indonesian-English’ alias bahasa Indonesia yang digado-gadokan dengan Inggris. Ada banyak orang menyebut ‘Indoglish’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia ini. Setidaknya dapat saya sebut Bung Joss Wibisono, reporter Radio Nederland Wereldomroep di Belanda, yang dalam wawancaranya kepada saya menyinggung fenomena ‘Indoglish’ ini.
Mari kita lihat sebentar bentuk ‘Inglish’ yang kini sudah banyak menggejala ini. Dalam bidang internet dan komputer kita banyak menggunakan mendownload, mengupload, mengupdate, dienter, diundo. Dalam bidang ekonomi terdapat dibuyback, dicover, direlease, diendorse, didiscount. Dalam bidang umum kita menemukan direject, diaccept, diclean, direturn. Dalam bidang lain pun, gejala bahasa Indonesia gado-gado ini banyak muncul.
Dalam hal struktur kata, pernah muncul BBWI untuk menunjuk waktu di wilayah Indonesia bagian barat. Bentuk itu kepanjangannya Bagian Barat Waktu Indonesia, sedangkan bentuk yang sudah lama berlaku adalah WIB. Bentuk WIB yang notabene bentuk benar itu merupakan kependekan ‘Waktu Indonesia (Bagian) Barat’.
Nah, bentuk yang disebut pertama itu berkonstruksi frasa asing karena bagian yang menerangkan berada di depan yang diterangkan. Bahasa kita tergolong bahasa berstruktur D-M, alias Diterangkan-Menerangkan untuk konstruksi frasanya. Atau bisa juga dalam tataran yang lebih luas disebut bahasa berpola V-O alias Verb-Object, alias pula predikat verba mendahului objek nominanya.
Tentu dalam bahasa Indonesia kita tidak bisa mengatakan biru buku atau pintar anak, tetapi harus mengatakan buku biru atau anak pintar. Itulah kenapa WIB adalah bentuk benar, dan BBWI keliru. Kalau bentuk BBWI diterima, akan semakin kukuhlah sinyalemen bahwa fenomena Inglish benar-benar hadir dalam bahasa kita.
Dalam tataran kalimat, ayolah kita lihat bentuk Masuk rumah, dia terkejut lalu terjatuh dan pingsan. Bukankah kalimat ini juga merupakan fenomena Inglish. Konstruksi kalimat itu hanya ada dalam bahasa Inggris, yakni konstruksi participial. Saya sering menyebutnya bentuk reduced, pakar bahasa yang lain menyebutnya partisip. Bukankah dalam bahasa Inggris terdapat bentuk partisip seperti Opening the door, she got startled and fainted. Nah, dalam bahasa Indonesia yang tidak digado-gadokan dengan struktur Inggris akan berbunyi, Saat membuka pintu, dia terkejut lalu terjatuh dan pingsan.
Fenomena Inglish benar-benar telah merasuk dan merusak bahasa Indonesia dari segala lini. Bisa dipertentangkan siapa yang sesungguhnya rakus bentuk asing itu dalam berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang memang terlampau adaptif karena mudah menyerap kata dan istilah serta konstruksi asing, ataukah kita pemakai bahasa Indonesia yang memang semakin tipis nasionalismenya, khususnya ketika harus berbahasa Indonesia.
Saya rasa fakta demikian ini harus direfleksikan, kenapa dalam usia negara yang 63 tahun ini, belum juga kita merdeka dari koloni bahasa. Bukankan fakta demikian itu artinya juga kita sudah mengkolonikan bahasa sendiri atau menjajahkan bahasa sendiri terhadap bahasa asing.
Tentu saja tidak bisa orang berkilah bahwa kini adalah era global, dan pengaruh bahasa asing khususnya bahasa Inggris pasti tidak tertangkalkan. Saya mengatakan ‘tidak bisa’ karena sekarang inilah saatnya kita harus mencuatkan nilai-nilai bahasa lokal ke dalam kancah global. Itulah kenapa beberapa saat lalu saya menulis di sebuah harian nasional ihwal bahasa glokal. Jadi, kita sekarang ini berkesempatan besar mencuatkan values bahasa nasional. Itulah yang dimaksud glokalisasi, bukan globalisasi. Maka, kita harus menyebut era sekarang ini era globalisasi dengan sentuhan lokal. Orang bilang, globalization with local flavours.
Jadi, tidak benar kalau di era sekarang bahasa nasional harus kalah dari bahasa Inggris. Justru, dalam pernyataan David Graddol (2006), peran bahasa Inggris kini makin redup. Peran bahasa Inggris mulai terkalahkan bahasa non-Inggris, utamanya Mandarin di wilayah Asia, dan Spanyol di Amerika Selatan. Kenapa kita justru menjadi kalah dengan terus berasing-asing ria dalam berbahasa Indonesia?
Nah, mari kita sejenak berkeliling kota Jogjakarta. Kita lihat apakah fenomena Inglish makin menggejala. Kalau nanti Anda menemukan bentuk-bentuk gado-gado pada nama restoran, hotel, rumah sakit, mal, bahkan warung lesehan, kita mutlak harus merasa khawatir. Jangan-jangan, buku ‘9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing’ oleh Alif Danya Munsyi, alias Dova Zila, alias Yapi Tambayong, alias Remy Sylado (2003), bakal menjadi kenyataan.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Jogja, September 2008)
Jumat, 12 September 2008
MENGIKIS ‘JAWANESIA’ DAN ‘JAVANGLISH’
Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum.
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta,
Konsultan Bahasa Media Massa di Jakarta
‘Apa wis bisa delivered, Dik?’
‘Durung sida je Mas,…
Malah lagi jammed iki!’
Saya rasa percakapan serupa kini sangat lazim terdengar. Utamanya, bagi yang banyak berurusan dengan komputer dan internet. Dalam ranah lain terdapat bentuk, ‘Diundjuk sik obate yang dari dokter tadi supaya cepat dhangan.’ Atau, ‘Wis dipundhutke kok tidak segera dimakan to, nanti cepat adhem kembali lho dhaharene Mas.’ Saya rasa, dengan mencermati tuturan-tuturan di atas, sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa dalam berbahasa Jawa pun kita suka gado-gado, atau bahkan gemar sekali ‘gudhangan’. Maksudnya, campur-bawur tidak karuan. Untuk yang pertama saya menyebutnya fenomena ‘Javanglish’ (Javanese-English), yang kedua bahasa ‘Jawanesia’ (Jawa-Indonesia). Dalam berbahasa Jawa, banyak dari kita yang mencampurkan bahasa Inggris. Apalagi dengan bahasa Indonesia yang notabene serumpun, campur aduk itu menjadi kentara sekali.
Baru saja saya menulis di Harian Jogja, fenomena bahasa yang saya sebut ‘Inglish’ atau ‘Indoglish’. Maksudnya, keadaan penggunaan bahasa yang campur-campur bak gado-gado. Rasa bahasanya, tentu juga menjadi ‘nano-nano’ alias ‘ora ngalor, ora ngidul’. Akan tetapi, ada pula pakar yang berpendapat bahwa fakta demikian ini mustahil hanya merupakan fenomena bahasa. Alasannya, di dalam fakta itu justru terdapat entitas yang lebih mendasar, yakni tipisnya nasionalisme bahasa. Kalau dalam bentuk-bentuk di atas terdapat sinyalemen itu, memang lalu sangat patut dikhawatirkan bahwa yang kini tipis itu, dalam waktu dekat bakal makin tipis dan akhirnya habis. Terlebih-lebih, jika upaya pemertahanan terhadap bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah (language defence) tidak secepatnya dilakukan dengan penuh ketaktisan.
Adakah gerangan sebab lain di luar fakta tipisnya nasionalisme seperti disebutkan di depan? Dengan tegas saya sebagai linguis mengatakan ‘ada’, khususnya untuk yang bertali-temali dengan ‘Javanglish’ dan ‘Jawanesia’. Bahasa-bahasa memang selalu berkontak, terlebih-lebih untuk bahasa yang dimiliki masyarakat bahasa yang tinggi dinamikanya. Bahasa Jawa, katakan saja, dimiliki orang-orang Jawa yang memang sangat dinamis polanya. Orang-orang Jawa juga dikenal mudah bergaul dengan warga masyarakat lain. Karakter keramahan dan kesopanan mereka yang tinggi, menjadikan warga masyarakat bahasa Jawa ini mudah diterima warga masyarakat lain.
Demikian pula, warga masyarakat lain juga tidak kesulitan beradaptasi dengan warga masyarakat Jawa. Fakta sosial demikian inilah yang kemudian melahirkan kontak bahasa (language contact) sebagaimana yang dinyatakan Uriel Weinreich (1970). Jadi, dari sisi sosiolinguistik sepertinya ancaman untuk terjadinya fakta ‘Javanglish’ dan ‘Jawanesia’ adalah kenyataan yang tidak tersangkalkan. Akan tetapi masalahnya, sekali lagi, bagaimana pemertahanan bahasa harus dilakukan? Adakah upaya konkrit dari masyarakat bahasa Jawa, --yang tentu saja harus dikomandai dan diprakarsai pihak-pihak yang berwenang dengan soal pengembangan dan pemeliharaan bahasa daerah--, untuk membalikkan arah dinamika mundurnya bahasa Jawa ini?
Saya cenderung mengatakan, upaya paling realistis dan aksesibel untuk segera dilakukan adalah lewat pembinaan bahasa Jawa dalam pengertian yang seluas-luasnya. Sasaran pembinaan juga harus dilakukan setepat-tepatnya. Memang tidak terlalu salah, sekalipun tidak tepat, jika sekarang ini anak-anak sekolah dasar masih diminta belajar menulis Jawa ala hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga. Akan tetapi yang jauh lebih penting, utamanya untuk kompetensi komunikasi bahasa Jawa, adalah pada tata cara lan unggah-ungguhing basa. Maksudnya, bagaimana bentuk kebahasaan tertentu harus digunakan dalam konteks situasi tertentu. Termasuk di dalamnya yang harus digamblangkan, --karena bahasa Jawa berbeda dengan bahasa Indonesia--, adalah persoalan tingkat tutur (speech level) dalam bahasa Jawa.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, hanya ada satu bentuk ‘makan. Dalam bahasa Inggris juga hanya ada satu ‘eat. Akan tetapi, dalam bahasa Jawa ada dhahar, nedha, mangan, madhang, mbadhok, nguntal, halat, dan segala macam variasinya. Saya hanya mau mengatakan, bahwa tingkat kesulitan dalam tata cara lan unggah-ungguhing basa ini sungguh sangat tinggi. Dan, sesungguhnya itulah penyebab pokok munculnya bentuk-bentuk ‘Jawanesia’ dan ‘Javanglish’ itu.
Orang banyak yang tidak mampu memilah dan memilih bentuk yang tepat sesuai dengan konteks situasi yang muncul. Maka, terjadilah percampuran kode kebahasaan (code-mixing) yang tidak karuan. Jadi peralihan kode (code-switching) dan pencampuran kode kebahasaan yang muncul selama ini, bukan karena kepiawaian berbahasa Jawa, tetapi justru karena ketidakmampuan berbahasa secara tepat. Maka, tidak terlampau salah, sekalipun tidak tepat, kalau dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah teks-teks yang panjang-panjang banyak disampaikan.
Akan tetapi sekali lagi, persoalan tata cara lan unggah-ungguhing basa tetap harus diberikan di atas segala-galanya. Saya mempunyi keyakinan, bila hal itu jadi fokus dalam membina bahasa Jawa, --bukan pertama-tama pada nulis nganggo aksara Jawa dan pada maca wacan sing dawa-dawa, fenomena ‘Jawanesia’ dan ‘Javanglish ‘ lambat-lambat pasti bisa kita kikis.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Jogja, September 2008)
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta,
Konsultan Bahasa Media Massa di Jakarta
‘Apa wis bisa delivered, Dik?’
‘Durung sida je Mas,…
Malah lagi jammed iki!’
Saya rasa percakapan serupa kini sangat lazim terdengar. Utamanya, bagi yang banyak berurusan dengan komputer dan internet. Dalam ranah lain terdapat bentuk, ‘Diundjuk sik obate yang dari dokter tadi supaya cepat dhangan.’ Atau, ‘Wis dipundhutke kok tidak segera dimakan to, nanti cepat adhem kembali lho dhaharene Mas.’ Saya rasa, dengan mencermati tuturan-tuturan di atas, sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa dalam berbahasa Jawa pun kita suka gado-gado, atau bahkan gemar sekali ‘gudhangan’. Maksudnya, campur-bawur tidak karuan. Untuk yang pertama saya menyebutnya fenomena ‘Javanglish’ (Javanese-English), yang kedua bahasa ‘Jawanesia’ (Jawa-Indonesia). Dalam berbahasa Jawa, banyak dari kita yang mencampurkan bahasa Inggris. Apalagi dengan bahasa Indonesia yang notabene serumpun, campur aduk itu menjadi kentara sekali.
Baru saja saya menulis di Harian Jogja, fenomena bahasa yang saya sebut ‘Inglish’ atau ‘Indoglish’. Maksudnya, keadaan penggunaan bahasa yang campur-campur bak gado-gado. Rasa bahasanya, tentu juga menjadi ‘nano-nano’ alias ‘ora ngalor, ora ngidul’. Akan tetapi, ada pula pakar yang berpendapat bahwa fakta demikian ini mustahil hanya merupakan fenomena bahasa. Alasannya, di dalam fakta itu justru terdapat entitas yang lebih mendasar, yakni tipisnya nasionalisme bahasa. Kalau dalam bentuk-bentuk di atas terdapat sinyalemen itu, memang lalu sangat patut dikhawatirkan bahwa yang kini tipis itu, dalam waktu dekat bakal makin tipis dan akhirnya habis. Terlebih-lebih, jika upaya pemertahanan terhadap bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah (language defence) tidak secepatnya dilakukan dengan penuh ketaktisan.
Adakah gerangan sebab lain di luar fakta tipisnya nasionalisme seperti disebutkan di depan? Dengan tegas saya sebagai linguis mengatakan ‘ada’, khususnya untuk yang bertali-temali dengan ‘Javanglish’ dan ‘Jawanesia’. Bahasa-bahasa memang selalu berkontak, terlebih-lebih untuk bahasa yang dimiliki masyarakat bahasa yang tinggi dinamikanya. Bahasa Jawa, katakan saja, dimiliki orang-orang Jawa yang memang sangat dinamis polanya. Orang-orang Jawa juga dikenal mudah bergaul dengan warga masyarakat lain. Karakter keramahan dan kesopanan mereka yang tinggi, menjadikan warga masyarakat bahasa Jawa ini mudah diterima warga masyarakat lain.
Demikian pula, warga masyarakat lain juga tidak kesulitan beradaptasi dengan warga masyarakat Jawa. Fakta sosial demikian inilah yang kemudian melahirkan kontak bahasa (language contact) sebagaimana yang dinyatakan Uriel Weinreich (1970). Jadi, dari sisi sosiolinguistik sepertinya ancaman untuk terjadinya fakta ‘Javanglish’ dan ‘Jawanesia’ adalah kenyataan yang tidak tersangkalkan. Akan tetapi masalahnya, sekali lagi, bagaimana pemertahanan bahasa harus dilakukan? Adakah upaya konkrit dari masyarakat bahasa Jawa, --yang tentu saja harus dikomandai dan diprakarsai pihak-pihak yang berwenang dengan soal pengembangan dan pemeliharaan bahasa daerah--, untuk membalikkan arah dinamika mundurnya bahasa Jawa ini?
Saya cenderung mengatakan, upaya paling realistis dan aksesibel untuk segera dilakukan adalah lewat pembinaan bahasa Jawa dalam pengertian yang seluas-luasnya. Sasaran pembinaan juga harus dilakukan setepat-tepatnya. Memang tidak terlalu salah, sekalipun tidak tepat, jika sekarang ini anak-anak sekolah dasar masih diminta belajar menulis Jawa ala hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga. Akan tetapi yang jauh lebih penting, utamanya untuk kompetensi komunikasi bahasa Jawa, adalah pada tata cara lan unggah-ungguhing basa. Maksudnya, bagaimana bentuk kebahasaan tertentu harus digunakan dalam konteks situasi tertentu. Termasuk di dalamnya yang harus digamblangkan, --karena bahasa Jawa berbeda dengan bahasa Indonesia--, adalah persoalan tingkat tutur (speech level) dalam bahasa Jawa.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, hanya ada satu bentuk ‘makan. Dalam bahasa Inggris juga hanya ada satu ‘eat. Akan tetapi, dalam bahasa Jawa ada dhahar, nedha, mangan, madhang, mbadhok, nguntal, halat, dan segala macam variasinya. Saya hanya mau mengatakan, bahwa tingkat kesulitan dalam tata cara lan unggah-ungguhing basa ini sungguh sangat tinggi. Dan, sesungguhnya itulah penyebab pokok munculnya bentuk-bentuk ‘Jawanesia’ dan ‘Javanglish’ itu.
Orang banyak yang tidak mampu memilah dan memilih bentuk yang tepat sesuai dengan konteks situasi yang muncul. Maka, terjadilah percampuran kode kebahasaan (code-mixing) yang tidak karuan. Jadi peralihan kode (code-switching) dan pencampuran kode kebahasaan yang muncul selama ini, bukan karena kepiawaian berbahasa Jawa, tetapi justru karena ketidakmampuan berbahasa secara tepat. Maka, tidak terlampau salah, sekalipun tidak tepat, kalau dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah teks-teks yang panjang-panjang banyak disampaikan.
Akan tetapi sekali lagi, persoalan tata cara lan unggah-ungguhing basa tetap harus diberikan di atas segala-galanya. Saya mempunyi keyakinan, bila hal itu jadi fokus dalam membina bahasa Jawa, --bukan pertama-tama pada nulis nganggo aksara Jawa dan pada maca wacan sing dawa-dawa, fenomena ‘Jawanesia’ dan ‘Javanglish ‘ lambat-lambat pasti bisa kita kikis.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Jogja, September 2008)
IHWAL BAHASA GLOKAL
R. Kunjana Rahardi**
Bukan tanpa alasan kalau beberapa waktu lalu penulis menyampaikan pemikiran ihwal urgensi memakai bahasa sendiri di suatu harian. Bukan tanpa alasan kalau penulis sebagai linguis gelisah dengan kecenderungan berbahasa Indonesia yang makin memprihatinkan.
Memang faktanya, bahasa kita benar-benar tergerogoti bahasa asing, utamanya Inggris, justru di era glokal. Memang benar, globalisasi telah menerabas sekat antarbangsa, antarmasyarakat, antarras, antarsuku, antargolongan, sehingga dunia serasa berubah menjadi kampung besar (global village) sebagaimana diprediksikan Marshall McLuhan (1962). Batas-batas bangsa dan negara kini sudah kabur, bahkan bisa dibilang runtuh, sehingga semuanya menjadi satu seperti dinyatakan Kenichi Ohmae (2005) dalam The Next Global Stage: Challenge and Opportunities in Our Borderless World.
Dalam pada itu dalam konteks bahasa terjadi glokalisasi (glocalization). Fenomena makin mencuatnya nilai-nilai lokal di era global. Maksudnya, agar sukses dalam percaturan global, kita harus piawai menonjolkan keunikan-keunikan lokal (local flavour). Orang lalu menyebut glokalisasi sebagai globalization with local flavour.
Sejenak kita berkaca pada temuan David Graddol (2006), yang memberikan ilustrasi hasil risetnya, bahwa pada 2000, bahasa Inggris di internet digunakan 51,3%. Lima tahun kemudian pada 2005, pemakaian bahasa Inggris merosot 32%. Penurunan dramatis itu disebabkan oleh fakta bahwa bahasa-bahasa tertentu mampu menangkap secara cerdas peluang i glokal itu.
Di antara bahasa-bahasa yang paling responsif, sesuai dengan hasil riset Graddol, sehingga meraup persentase besar, adalah Mandarin. Pada 2000, persentase Mandarin 5,4%, tetapi pada 2005 melonjak 13%.
Bahasa-bahasa lain rata-rata juga meneguk tambahan persentase signifikan. Semestinya, bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa di Asia bersama Jepang, Korea, dan Mandarin, juga mendapatkan kenaikan signifikan.
Namun, sungguhkah bahasa Indonesia mendapatkan peningkatan itu. Sama sekali tidak ada jawaban! Belum ada riset tentang ini! Graddol tidak juga menyebut bahasa Indonesia dalam risetnya. Setidaknya, itulah data yang dapat diakses penulis hingga kini.
Biasa! Kita memang senang terlambat dan gemar bener tertinggal bangsa lain dalam banyak hal. Dalam riset bahasa apalagi! kita harus meng-iya-kan, kita sangat tertinggal! Tidak salah kalau dikatakan kita gemar lari di tempat. Juga, dalam perkembangan dan perawatan bahasa (language maintenance and development).
Kalau di depan dinyatakan dalam tendensi glokal banyak bahasa berpeluang menonjolkan nilai-nilai lokal (local values), sehingga keunikan-keunikan lokal justru akan tercuat, fakta kebahasaan kita berbeda. Kita justru suka keasing-asingan. Serasa tidak keren kalau tidak menggunakan bentuk bahasa dan struktur bahasa asing.
Nasionalisme kita dalam bidang bahasa semakin larut di era glokal. Kesempatan mencuatkan nilai-nilai lokal dengan cara menggunakan bahasa Indonesia secara taat kaidah sosial dan struktural, malahan terbiarkan lenyap. Pasalya, pandangan mata kita terus tertuju ke dalam bahasa asing itu.
Orang Jawa bilang, kita ini blerengan (mudah merasa silau), tetapi pada waktu bersamaan juga nggumunan (mudah merasa terpesona). Terhadap tendensi kenaikan persentase sebagaimana disampaikan Graddol di depan, kita blereng sehingga tidak mampu merespons dengan baik. Kita tidak merespons tendensi glokal itu, malahan membiarkannya berlalu.
Maka, bahasa kita boleh dibilang kurang maju, malahan tergerogoti bahasa asing setiap waktu. Terhadap intrusi-intrusi bahasa asing itu, kita justru nggumunan alias mudah terpesona dengan kenyataan itu. Maka, kita lalu gemar sekali menggunakan bahasa dan struktur bahasa asing dalam berbagai wahana kehidupan. Orang bilang, biar keren!
Dalam surat kabar kita suka menggunakan bahasa dan struktur bahasa asing. Dalam perbincangan televisi kita melihat orang gemar sekali mencampur-campurkan bahasanya dengan bahasa asing (code-mixing). Dalam memasang papan-papan nama di ruang publik, kita bangga dengan bentuk dan struktur asing. Jadi, kita ini memang sungguh tidak disiplin berbahasa sendiri. Ibarat orang latihan baris-berbaris, jalannya pating krenthil alias tidak serentak. Maka, bahasa kita ke depan bisa kian rusak.
Bilamana fakta-fakta belerengan dan nggumunan dalam berbahasa ini tidak segera kita sikapi dengan baik, penulis meyakini, kita bakal kehilangan momentum dalam pengembangan dan perawatan bahasa sendiri. Dan yang sangat menggelikan, itu semua terjadi justru di era yang seharusnya kita boleh menonjolkan keunikan-keunikan lokal di era glokal.
Dalam hemat penulis, perencanaan bahasa dan ‘politik bahasa’ kita ke depan harus segera dikaji dan dirumuskan ulang. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan bahasa baik di pusat maupun daerah tidak boleh diam. Harus sungguh gumreget dan sigap. Segera lakukan langkah-langkah nyata. Lakukan kerja sama sinergis dengan pemerintah pusat dan daerah dalam membenahi bahasa masyarakat.
**Dr. R. Kunjana Rahardi adalah dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta dan konsultan bahasa media massa di Jakarta, tinggal di Yogyakarta.
(Artikel bahasa ini pernah dimuat di harian Kompas Jakarta, Rabu 19 Agustus 2008)
Bukan tanpa alasan kalau beberapa waktu lalu penulis menyampaikan pemikiran ihwal urgensi memakai bahasa sendiri di suatu harian. Bukan tanpa alasan kalau penulis sebagai linguis gelisah dengan kecenderungan berbahasa Indonesia yang makin memprihatinkan.
Memang faktanya, bahasa kita benar-benar tergerogoti bahasa asing, utamanya Inggris, justru di era glokal. Memang benar, globalisasi telah menerabas sekat antarbangsa, antarmasyarakat, antarras, antarsuku, antargolongan, sehingga dunia serasa berubah menjadi kampung besar (global village) sebagaimana diprediksikan Marshall McLuhan (1962). Batas-batas bangsa dan negara kini sudah kabur, bahkan bisa dibilang runtuh, sehingga semuanya menjadi satu seperti dinyatakan Kenichi Ohmae (2005) dalam The Next Global Stage: Challenge and Opportunities in Our Borderless World.
Dalam pada itu dalam konteks bahasa terjadi glokalisasi (glocalization). Fenomena makin mencuatnya nilai-nilai lokal di era global. Maksudnya, agar sukses dalam percaturan global, kita harus piawai menonjolkan keunikan-keunikan lokal (local flavour). Orang lalu menyebut glokalisasi sebagai globalization with local flavour.
Sejenak kita berkaca pada temuan David Graddol (2006), yang memberikan ilustrasi hasil risetnya, bahwa pada 2000, bahasa Inggris di internet digunakan 51,3%. Lima tahun kemudian pada 2005, pemakaian bahasa Inggris merosot 32%. Penurunan dramatis itu disebabkan oleh fakta bahwa bahasa-bahasa tertentu mampu menangkap secara cerdas peluang i glokal itu.
Di antara bahasa-bahasa yang paling responsif, sesuai dengan hasil riset Graddol, sehingga meraup persentase besar, adalah Mandarin. Pada 2000, persentase Mandarin 5,4%, tetapi pada 2005 melonjak 13%.
Bahasa-bahasa lain rata-rata juga meneguk tambahan persentase signifikan. Semestinya, bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa di Asia bersama Jepang, Korea, dan Mandarin, juga mendapatkan kenaikan signifikan.
Namun, sungguhkah bahasa Indonesia mendapatkan peningkatan itu. Sama sekali tidak ada jawaban! Belum ada riset tentang ini! Graddol tidak juga menyebut bahasa Indonesia dalam risetnya. Setidaknya, itulah data yang dapat diakses penulis hingga kini.
Biasa! Kita memang senang terlambat dan gemar bener tertinggal bangsa lain dalam banyak hal. Dalam riset bahasa apalagi! kita harus meng-iya-kan, kita sangat tertinggal! Tidak salah kalau dikatakan kita gemar lari di tempat. Juga, dalam perkembangan dan perawatan bahasa (language maintenance and development).
Kalau di depan dinyatakan dalam tendensi glokal banyak bahasa berpeluang menonjolkan nilai-nilai lokal (local values), sehingga keunikan-keunikan lokal justru akan tercuat, fakta kebahasaan kita berbeda. Kita justru suka keasing-asingan. Serasa tidak keren kalau tidak menggunakan bentuk bahasa dan struktur bahasa asing.
Nasionalisme kita dalam bidang bahasa semakin larut di era glokal. Kesempatan mencuatkan nilai-nilai lokal dengan cara menggunakan bahasa Indonesia secara taat kaidah sosial dan struktural, malahan terbiarkan lenyap. Pasalya, pandangan mata kita terus tertuju ke dalam bahasa asing itu.
Orang Jawa bilang, kita ini blerengan (mudah merasa silau), tetapi pada waktu bersamaan juga nggumunan (mudah merasa terpesona). Terhadap tendensi kenaikan persentase sebagaimana disampaikan Graddol di depan, kita blereng sehingga tidak mampu merespons dengan baik. Kita tidak merespons tendensi glokal itu, malahan membiarkannya berlalu.
Maka, bahasa kita boleh dibilang kurang maju, malahan tergerogoti bahasa asing setiap waktu. Terhadap intrusi-intrusi bahasa asing itu, kita justru nggumunan alias mudah terpesona dengan kenyataan itu. Maka, kita lalu gemar sekali menggunakan bahasa dan struktur bahasa asing dalam berbagai wahana kehidupan. Orang bilang, biar keren!
Dalam surat kabar kita suka menggunakan bahasa dan struktur bahasa asing. Dalam perbincangan televisi kita melihat orang gemar sekali mencampur-campurkan bahasanya dengan bahasa asing (code-mixing). Dalam memasang papan-papan nama di ruang publik, kita bangga dengan bentuk dan struktur asing. Jadi, kita ini memang sungguh tidak disiplin berbahasa sendiri. Ibarat orang latihan baris-berbaris, jalannya pating krenthil alias tidak serentak. Maka, bahasa kita ke depan bisa kian rusak.
Bilamana fakta-fakta belerengan dan nggumunan dalam berbahasa ini tidak segera kita sikapi dengan baik, penulis meyakini, kita bakal kehilangan momentum dalam pengembangan dan perawatan bahasa sendiri. Dan yang sangat menggelikan, itu semua terjadi justru di era yang seharusnya kita boleh menonjolkan keunikan-keunikan lokal di era glokal.
Dalam hemat penulis, perencanaan bahasa dan ‘politik bahasa’ kita ke depan harus segera dikaji dan dirumuskan ulang. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan bahasa baik di pusat maupun daerah tidak boleh diam. Harus sungguh gumreget dan sigap. Segera lakukan langkah-langkah nyata. Lakukan kerja sama sinergis dengan pemerintah pusat dan daerah dalam membenahi bahasa masyarakat.
**Dr. R. Kunjana Rahardi adalah dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta dan konsultan bahasa media massa di Jakarta, tinggal di Yogyakarta.
(Artikel bahasa ini pernah dimuat di harian Kompas Jakarta, Rabu 19 Agustus 2008)
MASUKNYA KELUAR MANA?
R. Kunjana Rahardi
Dosen Santa Maria dan Atma Jaya Yogyakarta
Saat tertentu penulis merasa geli sendiri menyadari ungkapannya keliru. Ketika itu, ia hendak masuk lorong. Dalam kebingungannya ia bertanya, ‘Mas, masuknya keluar mana?’ ‘Gimana Pak? Oh… masuk sana Pak! Lewat gapura itu!’ Penulis tersadar, bentuk yang digunakan itu ternyata salah nalar.
Bahasa memang bukan hanya persoalan kata, frasa, dan kalimat. Bahasa juga bukan sekadar ihwal tata bunyi dan tata ejaan. Dalam bahasa, semua unsur saling bertautan. Konvensi-konvensi kebahasaan yang pasti ada dipastikan juga saling berkaitan. Jadi, hubungan-hubungan itulah yang harus diperhatikan ketika orang bertutur sapa. Bila tidak, pasti komunikasinya terganggu. Bentuk kebahasaannya bisa keliru. Nalar berbahasanya pun bisa salah total.
Kita sering tidak sadar kalau bentuk yang kita gunakan keliru. Bentuk Setelah bang jo belok kiri!, misalnya, sesungguhnya juga bermasalah. Orang yang sudah lama tinggal di Jogja mungkin paham. Akan tetapi, orang luar Jogja bisa sangat kebingungan dengan bentuk itu. Sebabnya, bang jo dikiranya sebutan Abang Jo. Maka, dia kian pusing lantaran tidak kunjung bertemu Abang Jo. Jadi, bentuk semacam ini muncul lantaran nalar kita keliru memerantikan bentuk tertentu.
Belum lama ini prabayar pada kartu prabayar juga jadi persoalan. Banyak orang paham makna bentuk itu sekalipun wujudnya keliru. Unsur terikat pra yang bergabung dengan bentuk dasar bayar maknanya adalah sebelum. Maka, prabayar mestinya diartikan sebelum membayar. Bukankah untuk bisa menggunakan fasilitas itu orang harus membayar dulu? Kalau begitu, kenapa tidak disebut saja pascabayar? Memang tidak mudah meluruskan kesalahan kebahasaan ini. Sebabnya, dimensi-dimensi bisnis telanjur merasuk di dalamnya.
Lho, kenapa di media massa masih juga sering muncul mengejar kemiskinan? Layakkah kemiskinan dikejar? Untuk apa kemiskinan dikejar? Mestinya, kemiskinan diatasi dan ditinggalkan, tidak malahan dikejar. Maka bentuk yang benar adalah mengatasi kemiskinan. Kita juga harus tahu bentuk mengentaskan kemiskinan keliru dan salah nalar. Bukankah yang dientaskan bukan kemiskinannya, melainkan masyarakatnya yang miskin. Kenapa disebut mengentaskan kemiskinan?
Satu lagi bentuk yang perlu diluruskan, Ia lebih gemar makan daging ayam daripada kambing. Lho, apa yang sebenarnya diperbandingkan? Subjek ia dan subjek kambing ataukah predikat makan yang dipakai oleh subjek ia atau kambing? Bentuk semacam ini jelas menyesatkan. Kalimat yang benar mestinya berbunyi, Ia lebih gemar makan daging ayam daripada makan daging kambing. Lantaran pemotongan atau elipsis yang tidak tepat, kalimat itu menjadi keliru. Kasus di atas serupa dengan yang berikut, Ia lebih pintar merangkai bunga daripada buah. Karena elipsis pula, kalimat ini menjadi kacau makna. Kalimat yang benar mestinya berbunyi Ia lebih pintar merangkai bunga daripada merangkai buah.
Apa yang salah dengan, Karena terlambat, direktur marah? Bukankah subjek kalimat itu direktur. Lalu, siapa yang sebenarnya terlambat, seseorang ataukah direktur? Kalimat ini juga tidak benar nalarnya. Mestinya, kalimat itu berbunyi, Karena terlambat, ia dimarahi oleh direktur.
Sederet kalimat salah nalar masih bisa didata hingga banyak jumlahnya. Memang, kita sering tidak sadar dengan kesalahkaprahan. Demikian pun dengan nalar kita yang salah, kita sering tidak menyadarinya.
Orang bisa saja mengatakan, Ah, yang penting paham apa yang dikatakan. Tentu saja hal itu tidak benar. Pemahaman terhadap makna kebahasaan tidak dapat lepas dari wujud kebahasaannya. Bilamana wujud bahasa yang digunakan keliru, terbuka lebar peluang terjadi kesalahpahaman.
Anda yang terlalu berfokus pada keterpahaman tetapi melupakan ketepatan, bisa jadi merupakan sosok penyumbang ketidakmartabatan bahasa. Kalau Anda terus menoleransi bentuk salah seperti masuknya keluar mana, dan akhirnya bahasa kita sarat bentuk keliru semacam itu, bahasa bermartabat lain pasti akan segera menggusur bahasa kita.
Pertanyaan, saran, komentar, dan diskusi kebahasaan dapat disampaikan langsung ke: kunjana@indosat.net.id atau kunjana.rahardi@gmail.com
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Jakarta, Agustus 2008)
Dosen Santa Maria dan Atma Jaya Yogyakarta
Saat tertentu penulis merasa geli sendiri menyadari ungkapannya keliru. Ketika itu, ia hendak masuk lorong. Dalam kebingungannya ia bertanya, ‘Mas, masuknya keluar mana?’ ‘Gimana Pak? Oh… masuk sana Pak! Lewat gapura itu!’ Penulis tersadar, bentuk yang digunakan itu ternyata salah nalar.
Bahasa memang bukan hanya persoalan kata, frasa, dan kalimat. Bahasa juga bukan sekadar ihwal tata bunyi dan tata ejaan. Dalam bahasa, semua unsur saling bertautan. Konvensi-konvensi kebahasaan yang pasti ada dipastikan juga saling berkaitan. Jadi, hubungan-hubungan itulah yang harus diperhatikan ketika orang bertutur sapa. Bila tidak, pasti komunikasinya terganggu. Bentuk kebahasaannya bisa keliru. Nalar berbahasanya pun bisa salah total.
Kita sering tidak sadar kalau bentuk yang kita gunakan keliru. Bentuk Setelah bang jo belok kiri!, misalnya, sesungguhnya juga bermasalah. Orang yang sudah lama tinggal di Jogja mungkin paham. Akan tetapi, orang luar Jogja bisa sangat kebingungan dengan bentuk itu. Sebabnya, bang jo dikiranya sebutan Abang Jo. Maka, dia kian pusing lantaran tidak kunjung bertemu Abang Jo. Jadi, bentuk semacam ini muncul lantaran nalar kita keliru memerantikan bentuk tertentu.
Belum lama ini prabayar pada kartu prabayar juga jadi persoalan. Banyak orang paham makna bentuk itu sekalipun wujudnya keliru. Unsur terikat pra yang bergabung dengan bentuk dasar bayar maknanya adalah sebelum. Maka, prabayar mestinya diartikan sebelum membayar. Bukankah untuk bisa menggunakan fasilitas itu orang harus membayar dulu? Kalau begitu, kenapa tidak disebut saja pascabayar? Memang tidak mudah meluruskan kesalahan kebahasaan ini. Sebabnya, dimensi-dimensi bisnis telanjur merasuk di dalamnya.
Lho, kenapa di media massa masih juga sering muncul mengejar kemiskinan? Layakkah kemiskinan dikejar? Untuk apa kemiskinan dikejar? Mestinya, kemiskinan diatasi dan ditinggalkan, tidak malahan dikejar. Maka bentuk yang benar adalah mengatasi kemiskinan. Kita juga harus tahu bentuk mengentaskan kemiskinan keliru dan salah nalar. Bukankah yang dientaskan bukan kemiskinannya, melainkan masyarakatnya yang miskin. Kenapa disebut mengentaskan kemiskinan?
Satu lagi bentuk yang perlu diluruskan, Ia lebih gemar makan daging ayam daripada kambing. Lho, apa yang sebenarnya diperbandingkan? Subjek ia dan subjek kambing ataukah predikat makan yang dipakai oleh subjek ia atau kambing? Bentuk semacam ini jelas menyesatkan. Kalimat yang benar mestinya berbunyi, Ia lebih gemar makan daging ayam daripada makan daging kambing. Lantaran pemotongan atau elipsis yang tidak tepat, kalimat itu menjadi keliru. Kasus di atas serupa dengan yang berikut, Ia lebih pintar merangkai bunga daripada buah. Karena elipsis pula, kalimat ini menjadi kacau makna. Kalimat yang benar mestinya berbunyi Ia lebih pintar merangkai bunga daripada merangkai buah.
Apa yang salah dengan, Karena terlambat, direktur marah? Bukankah subjek kalimat itu direktur. Lalu, siapa yang sebenarnya terlambat, seseorang ataukah direktur? Kalimat ini juga tidak benar nalarnya. Mestinya, kalimat itu berbunyi, Karena terlambat, ia dimarahi oleh direktur.
Sederet kalimat salah nalar masih bisa didata hingga banyak jumlahnya. Memang, kita sering tidak sadar dengan kesalahkaprahan. Demikian pun dengan nalar kita yang salah, kita sering tidak menyadarinya.
Orang bisa saja mengatakan, Ah, yang penting paham apa yang dikatakan. Tentu saja hal itu tidak benar. Pemahaman terhadap makna kebahasaan tidak dapat lepas dari wujud kebahasaannya. Bilamana wujud bahasa yang digunakan keliru, terbuka lebar peluang terjadi kesalahpahaman.
Anda yang terlalu berfokus pada keterpahaman tetapi melupakan ketepatan, bisa jadi merupakan sosok penyumbang ketidakmartabatan bahasa. Kalau Anda terus menoleransi bentuk salah seperti masuknya keluar mana, dan akhirnya bahasa kita sarat bentuk keliru semacam itu, bahasa bermartabat lain pasti akan segera menggusur bahasa kita.
Pertanyaan, saran, komentar, dan diskusi kebahasaan dapat disampaikan langsung ke: kunjana@indosat.net.id atau kunjana.rahardi@gmail.com
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Jakarta, Agustus 2008)
Koloni bahasa pesan singkat
Dr. R. Kunjana Rahardi
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta,
Konsultan bahasa media massa di Jakarta
Kalau kebetulan ke toko buku di kota Anda, jangan lupa mengunjungi rak-rak buku SMS (short message service). Anda pasti menemukan buku populer seperti Humor SMS Cinta, Humor SMS Politik, Humor SMS Remaja, Humor SMS Perselingkuhan, Humor SMS Persahabatan. Kalau semuanya Anda baca, Anda bakal mengerti bahwa bahasa pesan singkat kini benar-benar telah menjadi penjajah atau koloni. Benarkah masyarakat kita kini telah terkoloni genre bahasa khusus ini? Jawaban tegasnya, ‘Ya!’ Bahasa pesan singkat di satu sisi adalah dampak tak termungkiri dari revolusi teknologi komunikasi (communications technology revolution). Pada sisi lain, genre bahasa yang begitu mendominasi komunikasi keseharian ini juga adalah manifestasi koloni terhadap bahasa Indonesia sendiri.
Sejenak kita lihat data riset tentang kemunculan bahasa pesan singkat di seberang negeri. David Graddol (2006) dalam bukunya English Next mencatat, akhir-akhir ini genre khusus ini telah menjadi bentuk komunikasi utama di Eropa dan Asia, terlebih-lebih lagi bagi kaum muda. Bahasa pesan singkat tidak saja merupakan genre khusus dalam komunikasi, tetapi juga merupakan genre yang memiliki pengaruh besar dalam ranah sosial dan politik. Di Inggris, menurut Graddol, telah terbentuk model berkelahi baru lantaran genre ini. Di Jerman, bahasa pesan singkat digunakan untuk mengorganisasi massa partai-partai politik. Pada 2001, genre ini dianggap telah membantu menurunkan Joseph Estrada dari kursi kepresidenan. Pada 2005, di Ukraina terjadi ‘Orange Revolution’, dan bahasa pesan singkat berperan sangat besar di situ.
Semua data yang disampaikan di depan sekaligus menegaskan, genre khusus ini benar-benar efektif digunakan dalam komunikasi. Berbagai ranah kehidupan dapat dijangkau. Salah-salah, ke depan genre bahasa ini malahan akan menggantikan peran bahasa Indonesia. Penulis ingin sekali menegaskan bahwa terlepas dari rupa-rupa kehebatan peran bahasa pesan singkat dalam menjangkau banyak ranah, genre khusus ini juga benar-benar telah menjadi koloni bagi bahasa kita. Artinya pula, genre ini harus diwaspadai. Ibarat kanker ganas, bahasa pesan singkat menyerbu tubuh bahasa Indonesia dari dalam. Adapun pencampuradukan istilah asing ibarat serdadu-serdadu teror bersenjata modern yang siap tempur, menggempur bahasa kita dari sejumlah sisi. Jadi lengkap sudah, luar-dalam bahasa kita memang terus diserbu.
Terhadap bahasa-bahasa yang memang sudah bermartabat tinggi dan benar-benar mapan seperti bahasa-bahasa Eropa tertentu, rupanya memang tidak sepenuhnya bisa bahasa pesan singkat ini dianggap koloni. Pasalnya, terlalu tangguh keberadaan bahasa-bahasa terawat (cultivated language) seperti Inggris, Mandarin, Spanyol, Belanda, German, diserbu genre itu. Bahasa-bahasa terawat itu telah memiliki kaidah-kaidah yang serbabaku. Aturan-aturan kebahasaannya jelas dan tegas. Baik struktur bahasa maupun pola bunyinya terkodifikasi dan terumuskan semuanya dengan mantap dan stabil. Bahkan dalam ranah pengucapan pun ada peranti standardisasinya, ada ketentuan perihal Received Pronunciation-nya.
Bahasa Indonesia tentu belum dapat dikatakan sebagai bahasa tipe itu. Boleh juga bisa dikatakan, bahasa kita bermartabat tinggi. Pasalnya, dalam berbahasa Indonesia terlampau banyak toleransi dan variasi. Ditambah lagi dengan sikap masyarakat yang terlampau suka bergengsi dengan bahasa-bahasa asing yang ditonjolkan di sana-sini. Bahasa Indonesia tampaknya memang belum benar-benar dianggap berprestise oleh masyarakat sendiri. Maka, mereka masih sangat suka bergengsi-gengsi dengan bahasa asing yang dianggapnya lebih berprestise.
Bahasa Indonesia, juga harus diakui, kurang berdaya ungkap tinggi sekalipun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga sudah tercatat 80.000-an lema. Untuk mengungkapkan kata Inggris mouse dalam bidang komputer, misalnya, lema tetikus masih sulit diterima. Untuk mengindonesiakan www atau worldwide web dalam internet, kita juga belum menerima bentuk jejaring jagat jembar. Bahkan sangkil dan mangkus yang semula hendak dipakai untuk mengindonesiakan bentuk Inggris effective dan efficient, gagal total dan ditolak masyarakat. Jadi sekali lagi, koloni bahasa asing dan koloni bahasa pesan singkat ini ke depan sungguh-sungguh bakal kian menyulitkan perkembangan bahasa Indonesia kalau kita tidak segera memiliki perencanaan bahasa dan ‘politik bahasa’ yang tepat.
Kembali pada riset Graddol di depan, dilaporkan bahwa ke depan bahasa Indonesia hanya dapat meraup angka 1.1% dari kesuluruhan penutur bahasa dunia. Sementara Mandarin bakal menjadi primadona di Asia karena digunakan kira-kira 30% keseluruhan penutur bahasa dunia. Bahasa Spanyol, di sisi lain, juga akan berkembang hebat bahkan akan menggantikan peran bahasa Inggris di Amerika Latin.
Nah, dengan berkaca pada angka-angka persentase yang tidak terlampau menggembirakan bagi bahasa Indonesia di masa depan itu, sekali lagi penulis ingin menegaskan, perlu segera diambil langkah-langkah tegas dan tepat oleh para pengambil kebijakan bahasa. Koloni bahasa asing terhadap bahasa Indonesia harus diserbu balik dengan strategi yang benar-benar tangguh terandal. Demikian pun koloni bahasa pesan singkat, harus benar-benar diserang balik dengan strategi kebahasaan yang harus benar-benar tepat dan jitu.
(Artikel bahasa ini pernah dimuat di Harian Jogja, Agustus 2008)
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta,
Konsultan bahasa media massa di Jakarta
Kalau kebetulan ke toko buku di kota Anda, jangan lupa mengunjungi rak-rak buku SMS (short message service). Anda pasti menemukan buku populer seperti Humor SMS Cinta, Humor SMS Politik, Humor SMS Remaja, Humor SMS Perselingkuhan, Humor SMS Persahabatan. Kalau semuanya Anda baca, Anda bakal mengerti bahwa bahasa pesan singkat kini benar-benar telah menjadi penjajah atau koloni. Benarkah masyarakat kita kini telah terkoloni genre bahasa khusus ini? Jawaban tegasnya, ‘Ya!’ Bahasa pesan singkat di satu sisi adalah dampak tak termungkiri dari revolusi teknologi komunikasi (communications technology revolution). Pada sisi lain, genre bahasa yang begitu mendominasi komunikasi keseharian ini juga adalah manifestasi koloni terhadap bahasa Indonesia sendiri.
Sejenak kita lihat data riset tentang kemunculan bahasa pesan singkat di seberang negeri. David Graddol (2006) dalam bukunya English Next mencatat, akhir-akhir ini genre khusus ini telah menjadi bentuk komunikasi utama di Eropa dan Asia, terlebih-lebih lagi bagi kaum muda. Bahasa pesan singkat tidak saja merupakan genre khusus dalam komunikasi, tetapi juga merupakan genre yang memiliki pengaruh besar dalam ranah sosial dan politik. Di Inggris, menurut Graddol, telah terbentuk model berkelahi baru lantaran genre ini. Di Jerman, bahasa pesan singkat digunakan untuk mengorganisasi massa partai-partai politik. Pada 2001, genre ini dianggap telah membantu menurunkan Joseph Estrada dari kursi kepresidenan. Pada 2005, di Ukraina terjadi ‘Orange Revolution’, dan bahasa pesan singkat berperan sangat besar di situ.
Semua data yang disampaikan di depan sekaligus menegaskan, genre khusus ini benar-benar efektif digunakan dalam komunikasi. Berbagai ranah kehidupan dapat dijangkau. Salah-salah, ke depan genre bahasa ini malahan akan menggantikan peran bahasa Indonesia. Penulis ingin sekali menegaskan bahwa terlepas dari rupa-rupa kehebatan peran bahasa pesan singkat dalam menjangkau banyak ranah, genre khusus ini juga benar-benar telah menjadi koloni bagi bahasa kita. Artinya pula, genre ini harus diwaspadai. Ibarat kanker ganas, bahasa pesan singkat menyerbu tubuh bahasa Indonesia dari dalam. Adapun pencampuradukan istilah asing ibarat serdadu-serdadu teror bersenjata modern yang siap tempur, menggempur bahasa kita dari sejumlah sisi. Jadi lengkap sudah, luar-dalam bahasa kita memang terus diserbu.
Terhadap bahasa-bahasa yang memang sudah bermartabat tinggi dan benar-benar mapan seperti bahasa-bahasa Eropa tertentu, rupanya memang tidak sepenuhnya bisa bahasa pesan singkat ini dianggap koloni. Pasalnya, terlalu tangguh keberadaan bahasa-bahasa terawat (cultivated language) seperti Inggris, Mandarin, Spanyol, Belanda, German, diserbu genre itu. Bahasa-bahasa terawat itu telah memiliki kaidah-kaidah yang serbabaku. Aturan-aturan kebahasaannya jelas dan tegas. Baik struktur bahasa maupun pola bunyinya terkodifikasi dan terumuskan semuanya dengan mantap dan stabil. Bahkan dalam ranah pengucapan pun ada peranti standardisasinya, ada ketentuan perihal Received Pronunciation-nya.
Bahasa Indonesia tentu belum dapat dikatakan sebagai bahasa tipe itu. Boleh juga bisa dikatakan, bahasa kita bermartabat tinggi. Pasalnya, dalam berbahasa Indonesia terlampau banyak toleransi dan variasi. Ditambah lagi dengan sikap masyarakat yang terlampau suka bergengsi dengan bahasa-bahasa asing yang ditonjolkan di sana-sini. Bahasa Indonesia tampaknya memang belum benar-benar dianggap berprestise oleh masyarakat sendiri. Maka, mereka masih sangat suka bergengsi-gengsi dengan bahasa asing yang dianggapnya lebih berprestise.
Bahasa Indonesia, juga harus diakui, kurang berdaya ungkap tinggi sekalipun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga sudah tercatat 80.000-an lema. Untuk mengungkapkan kata Inggris mouse dalam bidang komputer, misalnya, lema tetikus masih sulit diterima. Untuk mengindonesiakan www atau worldwide web dalam internet, kita juga belum menerima bentuk jejaring jagat jembar. Bahkan sangkil dan mangkus yang semula hendak dipakai untuk mengindonesiakan bentuk Inggris effective dan efficient, gagal total dan ditolak masyarakat. Jadi sekali lagi, koloni bahasa asing dan koloni bahasa pesan singkat ini ke depan sungguh-sungguh bakal kian menyulitkan perkembangan bahasa Indonesia kalau kita tidak segera memiliki perencanaan bahasa dan ‘politik bahasa’ yang tepat.
Kembali pada riset Graddol di depan, dilaporkan bahwa ke depan bahasa Indonesia hanya dapat meraup angka 1.1% dari kesuluruhan penutur bahasa dunia. Sementara Mandarin bakal menjadi primadona di Asia karena digunakan kira-kira 30% keseluruhan penutur bahasa dunia. Bahasa Spanyol, di sisi lain, juga akan berkembang hebat bahkan akan menggantikan peran bahasa Inggris di Amerika Latin.
Nah, dengan berkaca pada angka-angka persentase yang tidak terlampau menggembirakan bagi bahasa Indonesia di masa depan itu, sekali lagi penulis ingin menegaskan, perlu segera diambil langkah-langkah tegas dan tepat oleh para pengambil kebijakan bahasa. Koloni bahasa asing terhadap bahasa Indonesia harus diserbu balik dengan strategi yang benar-benar tangguh terandal. Demikian pun koloni bahasa pesan singkat, harus benar-benar diserang balik dengan strategi kebahasaan yang harus benar-benar tepat dan jitu.
(Artikel bahasa ini pernah dimuat di Harian Jogja, Agustus 2008)
MAEN SMS GRATIS, NELPON MURAH ABIS
R. Kunjana Rahardi
Dosen Santa Maria dan Atma Jaya Yogyakarta
Suatu saat penulis memandangi iklan penyedia layanan komunikasi di sudut jalan. Lepas dari permainan bahasa yang superkreatif, urutan kata pada iklan itu harus dikritisi. Memang sulit membendung kelaziman laras tutur agar tidak berimbas pada bahasa standar. Kini, banyak orang justru gemar merecoki kaidah kebakuan itu dengan bentuk tidak standar.
Pertanyaannya lalu, kenapa bentuk murah abis, bukan sangat murah atau amat murah? Juga, kenapa maen sms gratis, bukan gratis maen sms? Ihwal maen, nelpon, abis, tidak disinggung dalam tulisan ini karena fokus tulisan ini hanya pada masalah urutan kata.
Frasa bahasa Indonesia secara umum berkonstruksi ‘diterangkan-menerangkan’, disingkat D-M. Unsur yang diterangkan hadir di sisi kiri, sedangkan unsur yang menerangkan di kanan. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa konstruksi frasa bahasa Indonesia berpola perluasan ke kanan. Berkaitan dengan pola itu, kita pasti mengatakan sertifikat deposito, bukan deposito sertifikat. Kata sertifikat sebagai yang diterangkan, berada di kiri deposito sebagai unsur menerangkan. Urutan kata itu tidak mungkin dibalik menjadi deposito sertifikat karena konstruksi balikan itu menyalahi kaidah D-M.
Dengan kaidah perluasan ke kanan, dengan mudah kita menentukan ini hari dan ini malam adalah konstruksi salah. Bentuk benarnya hari ini dan malam ini. Dalam konteks bisnis ditemukan imbal hasil, bukan hasil imbal. Kita juga menemukan hutan lindung dan hutan produksi, bukannya lindung hutan dan produksi hutan. Hal ini sesungguhnya menegaskan, bahwa bahasa Indonesia memiliki pola D-M untuk frasanya.
Akan tetapi, bila semakin didalami terdapat juga frasa yang bilamana dipertukarkan urutannya, akan ditolak dari sisi maknanya sekalipun dari dimensi bentuknya benar. Makna ubahan bentuk itu sama sekali tidak sama dengan makna bentuk aslinya. Sebagai contoh kompleks kantor dan kantor kompleks. Makna kedua bentuk itu jelas tidak sama. Bentuk pertama bermakna lokasi perkantoran, dan yang kedua kantor kompleks tertentu.
Demikian juga tabungan berhadiah dan berhadiah tabungan. Makna kedua frasa ini tidak sama. Bentuk pertama bermakna tabungan yang memberikan kemungkinan mendapatkan hadiah, sedangkan yang kedua memiliki hadiah berupa tabungan. Bentuk murah abis pada konstruksi nelpon murah abis berkonstruksi D-M. Kata ‘murah’ berada di sisi kiri sebagai inti frasanya, sedangkan abis hadir di kanan sebagai pewatasnya. Dalam konstruksi itu, abis bersinonim dengan sekali. Bentuk abis atau sekali berjenis adverbia, maka wajar bila menempati posisi M.
Catatan lain berkenaan dengan urutan kata frasa adalah bahwa ternyata terdapat sejumlah frasa berpola perluasan ke kiri. Perluasan frasa ke kiri itu jelas sekali menghasilkan konstruksi M-D. Konstruksi frasa ini menyerupai konstruksi frasa bahasa Inggris. Bentuk deputi gubernur, misalnya, tidak mungkin diubah menjadi gubernur deputi. Juga bentuk sentra koperasi, mustahil diubah menjadi koperasi sentra. Demikian pula dewan direktur tentu akan salah kalau dibalik menjadi direktur dewan.
Hal terakhir yang juga harus diperhatikan adalah bahwa ternyata terdapat pula sejumlah frasa yang bisa dipertukarkan urutannya. Maksudnya, konstruksi D-M menjadi M-D atau konstruksi M-D menjadi D-M, tanpa diikuti perubahan makna secara signifikan. Bentuk malam nanti dan nanti malam tampaknya memiliki karakter sama. Demikian juga makroekonomi dipertukarkan dengan ekonomi makro dengan makna tetap sama. Bentuk maen sms gratis pada iklan di atas bisa diubah urutannya menjadi gratis maen sms. Maknanya tetap sama, sekalipun penekanannya tidak sama. Kalau maen sms gratis bisa dipertukarkan urutannya, nelpon murah abis tidak. Alasannya, karakter dasar dari kedua frasa itu memang tidak sama.
Pertanyaan, saran, komentar, dan diskusi kebahasaan dapat disampaikan langsung ke: kunjana@indosat.net.id atau kunjana.rahardi@gmail.com
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Jakarta, 2008)
Dosen Santa Maria dan Atma Jaya Yogyakarta
Suatu saat penulis memandangi iklan penyedia layanan komunikasi di sudut jalan. Lepas dari permainan bahasa yang superkreatif, urutan kata pada iklan itu harus dikritisi. Memang sulit membendung kelaziman laras tutur agar tidak berimbas pada bahasa standar. Kini, banyak orang justru gemar merecoki kaidah kebakuan itu dengan bentuk tidak standar.
Pertanyaannya lalu, kenapa bentuk murah abis, bukan sangat murah atau amat murah? Juga, kenapa maen sms gratis, bukan gratis maen sms? Ihwal maen, nelpon, abis, tidak disinggung dalam tulisan ini karena fokus tulisan ini hanya pada masalah urutan kata.
Frasa bahasa Indonesia secara umum berkonstruksi ‘diterangkan-menerangkan’, disingkat D-M. Unsur yang diterangkan hadir di sisi kiri, sedangkan unsur yang menerangkan di kanan. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa konstruksi frasa bahasa Indonesia berpola perluasan ke kanan. Berkaitan dengan pola itu, kita pasti mengatakan sertifikat deposito, bukan deposito sertifikat. Kata sertifikat sebagai yang diterangkan, berada di kiri deposito sebagai unsur menerangkan. Urutan kata itu tidak mungkin dibalik menjadi deposito sertifikat karena konstruksi balikan itu menyalahi kaidah D-M.
Dengan kaidah perluasan ke kanan, dengan mudah kita menentukan ini hari dan ini malam adalah konstruksi salah. Bentuk benarnya hari ini dan malam ini. Dalam konteks bisnis ditemukan imbal hasil, bukan hasil imbal. Kita juga menemukan hutan lindung dan hutan produksi, bukannya lindung hutan dan produksi hutan. Hal ini sesungguhnya menegaskan, bahwa bahasa Indonesia memiliki pola D-M untuk frasanya.
Akan tetapi, bila semakin didalami terdapat juga frasa yang bilamana dipertukarkan urutannya, akan ditolak dari sisi maknanya sekalipun dari dimensi bentuknya benar. Makna ubahan bentuk itu sama sekali tidak sama dengan makna bentuk aslinya. Sebagai contoh kompleks kantor dan kantor kompleks. Makna kedua bentuk itu jelas tidak sama. Bentuk pertama bermakna lokasi perkantoran, dan yang kedua kantor kompleks tertentu.
Demikian juga tabungan berhadiah dan berhadiah tabungan. Makna kedua frasa ini tidak sama. Bentuk pertama bermakna tabungan yang memberikan kemungkinan mendapatkan hadiah, sedangkan yang kedua memiliki hadiah berupa tabungan. Bentuk murah abis pada konstruksi nelpon murah abis berkonstruksi D-M. Kata ‘murah’ berada di sisi kiri sebagai inti frasanya, sedangkan abis hadir di kanan sebagai pewatasnya. Dalam konstruksi itu, abis bersinonim dengan sekali. Bentuk abis atau sekali berjenis adverbia, maka wajar bila menempati posisi M.
Catatan lain berkenaan dengan urutan kata frasa adalah bahwa ternyata terdapat sejumlah frasa berpola perluasan ke kiri. Perluasan frasa ke kiri itu jelas sekali menghasilkan konstruksi M-D. Konstruksi frasa ini menyerupai konstruksi frasa bahasa Inggris. Bentuk deputi gubernur, misalnya, tidak mungkin diubah menjadi gubernur deputi. Juga bentuk sentra koperasi, mustahil diubah menjadi koperasi sentra. Demikian pula dewan direktur tentu akan salah kalau dibalik menjadi direktur dewan.
Hal terakhir yang juga harus diperhatikan adalah bahwa ternyata terdapat pula sejumlah frasa yang bisa dipertukarkan urutannya. Maksudnya, konstruksi D-M menjadi M-D atau konstruksi M-D menjadi D-M, tanpa diikuti perubahan makna secara signifikan. Bentuk malam nanti dan nanti malam tampaknya memiliki karakter sama. Demikian juga makroekonomi dipertukarkan dengan ekonomi makro dengan makna tetap sama. Bentuk maen sms gratis pada iklan di atas bisa diubah urutannya menjadi gratis maen sms. Maknanya tetap sama, sekalipun penekanannya tidak sama. Kalau maen sms gratis bisa dipertukarkan urutannya, nelpon murah abis tidak. Alasannya, karakter dasar dari kedua frasa itu memang tidak sama.
Pertanyaan, saran, komentar, dan diskusi kebahasaan dapat disampaikan langsung ke: kunjana@indosat.net.id atau kunjana.rahardi@gmail.com
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Jakarta, 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)